
Gotong Royong Menyongsong Energi Masa Depan
INDONESIA kini memegang peranan kunci bagi arah pertumbuhan ekonomi global, termasuk mengajak semua negara di dunia menerapkan energi bersih atau melakukan transisi energi demi pembangunan berkelanjutan. Jika pengembangan dan penggunaan energi yang lebih baik dan terbarukan tercipta, bukan tidak mungkin secara gotong royong bisa menekan perubahan iklim.
Tak ditampik, pandemi covid-19, peningkatan biaya hidup, perubahan iklim, krisis energi dan pangan, serta ketegangan geopolitik yang terjadi saat ini telah menghadapkan dunia kepada krisis multi-dimensi yang dikenal dengan ‘the perfect storm’. Kondisi ini patut diwaspadai dan diantisipasi sebaik mungkin agar tidak menghantam keras perekonomian.
Terkait dengan krisis energi, Indonesia melalui Presidensi G20 telah mengajak seluruh negara anggota G20 untuk menghasilkan solusi global atas permasalahan tersebut dengan menjadikan transisi energi sebagai salah satu isu prioritas Presidensi G20 Indonesia. Adapun isu krisis energi harus ditangani tanpa mengorbankan proses transisi energi.
“Transisi energi harus adil, terjangkau, dan dapat diakses oleh semua orang. Indonesia memiliki komitmen untuk mencapai net zero emissions pada 2060 atau lebih cepat dan target tersebut tidak boleh tergelincir,” tegas Menko Airlangga, Oktober silam.
Untuk mendukung komitmen tersebut, Indonesia baru-baru ini mendeklarasikan target penurunan emisi. Dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) terbaru, Indonesia menaikkan target pengurangan emisi menjadi 31,89 persen di 2030 dengan target dukungan internasional sebesar 43,20 persen.
Sejalan dengan rencana transisi energi bersih, sektor industri perlu inovatif dalam akuisisi teknologi dan investasi. Dengan investasi dan teknologi yang tepat, Indonesia dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dan menghindari kelaparan, anomali cuaca, serta tenggelamnya pulau di Indonesia maupun di Pasifik.
Pemerintah menyadari energi mendorong perekonomian dan karena itu transisi energi harus fokus pada pengurangan intensitas karbon dan memberi manfaat bagi setiap rumah tangga. Mendukung hal tersebut, pemerintah telah menyiapkan beberapa skema, termasuk di bidang carbon pricing dan carbon trading.
Selain itu, investasi hijau juga terbukti lebih menarik baik di pasar modal maupun branding publik. Dengan meminimalkan penggunaan plastik dan digantikan dengan bahan organik, perlahan akan mengubah pola pikir dan masyarakat akan mempertahankan kehidupan yang bersih, hijau, dan lebih berkelanjutan.
Bidang lain yang sedang gencar digalakkan pemerintah adalah penggunaan kendaraan listrik atau Electric Vehicle (EV). “Kita ingin memimpin dengan memberi contoh. Untuk itu, Indonesia terus mempromosikan ekosistem EV karena kebijakan ini diharapkan akan menjadi kunci revolusi masa depan,” kata Airlangga.
Sedangkan Presiden Jokowi menilai Indonesia mempunyai potensi menjadi pemimpin pasar skema perdagangan karbon dunia di masa depan. Bahkan, saat berbincang dengan Ketua Eksekutif Forum Ekonomi Dunia Klaus Schwab, ia berani menyebut Indonesia diperkirakan dapat mengalahkan potensi perdagangan pemain karbon kakap seperti Peru, Kenya, hingga Brasil.
Menekan emisi karbon
Pada dasarnya, Pemerintah Indonesia mendukung penuh upaya strategis global dalam menekan emisi gas karbon. Salah satu yang perlu diturunkan yakni di subsektor batu bara melalui pemanfaatan teknologi dan Energi Baru dan Terbarukan (EBT).
Langkah ini diharapkan dapat berkontribusi terhadap pencapaian target emisi nol bersih di 2060 atau lebih cepat sejalan dengan agenda Energy Transitions Working Group (ETWG) Presidensi G20 Indonesia.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menekankan pentingnya subsektor batu bara dalam melakukan adaptasi perkembangan zaman. “Dalam beberapa tahun mendatang penggunaan batu bara akan kalah pamor dengan EBT sebagai bagian dari proses transisi energi,” kata Arifin.
Kementerian ESDM, kata Arifin, tengah menyiapkan empat strategi dalam mereduksi emisi karbon, yaitu pembangunan industri hilir batu bara, pemanfaatan clean coal technology di pembangkit, Carbon Capture Storage/Carbon Capture Utilization Storage (CCUS), dan co-firing biomassa.
“Implementasi strategi ini akan mempertimbangkan multiplier effect dari proses transisi energi itu sendiri. Satu sisi menutup sejumlah kesempatan kerja. Sisi lain akan membuka banyak peluang penciptaan lapangan kerja,” jelasnya.
Tak lagi menggunakan PLTU
Langkah pemerintah menekan emisi karbon dan fokus pada transisi energi yang lebih bersih tak berhenti sampai di situ. Bahkan, keputusan besar diambil yakni tak lagi menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) baru untuk mengurangi ketergantungan terhadap batu bara.
Upaya itu dibuktikan dengan Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden No.112 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Listrik. Peraturan Presiden ini ditetapkan Presiden Jokowi pada 13 September 2022 dan berlaku efektif pada saat diundangkan yakni sama seperti tanggal penetapan, 13 September 2022.
Dalam kebijakan baru tersebut, Presiden resmi melarang pembangunan PLTU baru dan mempercepat pengakhiran masa operasional PLTU yang masih beroperasi saat ini. Kementerian (ESDM) menjelaskan kebijakan pelarangan PLTU baru itu untuk mempercepat rencana penutupan PLTU.
“Dengan turunnya Perpres 112/2022, rencana pengembangan EBT supaya dipercepat dan ada rencana untuk mempensiunkan PLTU yang sudah memenuhi keekonomiannya,” ungkap Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara Irwandy Arif.
Meski demikian, keputusan mempensiunkan PLTU tetap menyesuaikan dengan supply dan demand kebutuhan nasional, sehingga tidak mengganggu stabilitas kelistrikan nasional. Bahkan, ada PLTU yang dikecualikan untuk dipensiunkan yaitu PLTU yang sudah ada di dalam RUPTL sebelum berlakunya Perpres ini.
Kemudian PLTU yang sudah terintegrasi dan akan memberikan nilai tambah terhadap sumber daya alam. Selain itu, PLTU lain yang masih diperbolehkan adalah PLTU yang mempunyai rencana pengurangan C02 sebesar 35 persen dalam kurun waktu 10 tahun ke depan.
Tak hanya dari sisi pemerintah. PT Pertamina (Persero) mencatat telah menjalin kerja sama dengan beberapa perusahaan internasional dalam bidang transisi energi pada pertemuan B20 di Bali, Agustus silam. Kerja sama yang dilakukan sebagai komitmen Pertamina demi mendukung program transisi energi bersih dan penurunan emisi.
Kerja sama yang terjalin pun sempat mendapat apresiasi dan pujian dari Menteri ESDM Arifin Tasrif. Ia berpendapat tantangan dengan penerapan teknologi rendah karbon harus ditangani bersama antara negara maju dan negara berkembang.
Beberapa kerja sama itu yakni pertama, penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara PT Pertamina dengan PT Astra Agro Lestari Tbk tentang ‘Kerja Sama dalam Potensi Hubungan Bisnis dan Pertukaran Data untuk Pengembangan Proyek-Proyek Rendah Emisi’.
Kedua, penandatanganan perjanjian kerja sama Pengembangan Green Industrial Cluster di Jababeka antara Pertamina Power New and Renewable Energy (NRE) Pertamina Power Indonesia (PPI) dengan PT Jababeka Infrastruktur melalui pemanfaatan PLTS Atap di gedung perkantoran Jababeka.
Ketiga, kerja sama Joint Study Agreement (JSA) antara PPI dengan Pondera dalam kerja sama ‘Integrated Offshore Wind Energy & Hydrogen Production Facility’. JSA ini merupakan tindak lanjut MoU antara Pertamina NRE (PPI) dengan Pondera yakni perusahaan asal Belanda pada 21 April 2022 perihal pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB).
Keempat, JSA antara Pertamina (Persero), PEP dan Japan Oil, Gas and Metals National Corporation (JOGMEC) terkait ‘JOGMEC on CO2 Injection for Enhanced Oil Recovery (CCUS-EOR) Project in Jatibarang Field’.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan kerja sama yang terjalin dilandaskan akan tingginya permintaan energi terbarukan dan bahan bakar rendah karbon yang diperkirakan meningkat untuk memerangi peningkatan emisi gas rumah kaca dari bahan bakar fosil.
“Ini adalah kolaborasi antara perusahaan, dan negara, dan yang paling penting adalah kolaborasi antara umat manusia untuk berkontribusi dalam tindakan nyata dan nyata untuk mencapai tujuan konsensus menyediakan akses yang adil ke energi berkelanjutan dan melindungi iklim kita untuk generasi yang akan datang,” imbuh Nicke.
Mendukung Kendaraan Listrik
Pertamina juga siap mendukung peralihan ke energi bersih yakni penggunaan listrik pada kendaraan. Direktur Strategi, Portofolio, dan Pengembangan Usaha Pertamina Atep Salyadi Dariah Saputra mengatakan rencana mengembangkan ekosistem EV merupakan salah satu strategi jangka panjang, yang saat ini sedang dikembangkan melalui Indonesia Battery Corporation.
“Pertamina akan fokus pada pasokan Baterai, grid, dan juga EV charger. Untuk mendukung ekosistem EV Pertamina akan menggunakan My Pertamina sebagai aplikasi all in one yang dapat digunakan sebagai sistem pembayaran, antrean, dan pemeliharaan,” katanya.
Ia menambahkan perkembangan industri baterai di Indonesia juga memiliki potensi besar terlebih bagi kendaraan roda dua yang berpotensi perkembangannya lebih cepat dari roda empat. Saat ini, lanjut Salyadi, Pertamina juga gencar mengupayakan program Green Energy Station (GES).
Program itu merupakan konsep SPBU yang ramah lingkungan di mana salah satu layanan yang diberikan adalah pengisian listrik atau penggantian baterai dengan kendaraan listrik. “Pertamina sudah bekerja sama dengan beberapa perusahaan besar untuk lebih mengembangkan ekosistem EV di Indonesia seperti Gojek, Grab, JNE, dan lainnya,” imbuhnya.
Tak hanya kesiapan dalam hal teknologi dan inovasi, Salyadi menambahkan, pengembangan ekosistem EV di Tanah Air juga perlu memerhatikan kesiapan dari sisi Sumber Daya Manusia (SDM).
“Untuk itu, transisi energi harus disiapkan dengan memastikan kemampuan sumber daya manusia untuk mengakomodasi perubahan misalnya transfer pengetahuan, upskilling, dan workshop. Transisi tenaga kerja harus dipercepat sebagai upaya mengantisipasi dampak langsung dan tidak langsung pada sektor tenaga kerja,” ucapnya.
Sementara itu, Chair of TF ESG dalam B20 Side Event Ready to eMove Nicke Widyawati pada awal Oktober silam menegaskan, Task Force Energy, Sustainability and Climate Business 20 (TS ESC-B20) mendukung penuh pengembangan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia melalui policy recommendation dan policy action di sektor energi.
Nicke menjelaskan salah satu upaya untuk mencapai target Pemerintah Indonesia dalam Nationally Determined Contribution (NDC) untuk meningkatkan pengurangan emisi dan mencapai net zero emission pada 2060 bertumpu pada sektor energi, implementasi kendaraan listrik akan memainkan peran kunci.
Sesuai arahan Presiden Joko Widodo, tambahnya, ditargetkan di Indonesia setidaknya ada dua juta sepeda motor listrik akan digunakan di jalan pada 2025 dan sekitar 13 juta sepeda motor listrik digunakan pada 2030. “Pemerintah telah mengeluarkan beberapa regulasi untuk memfasilitasi dan mempercepat penggunaan kendaraan listrik,” kata Nicke.
Dalam mendorong penggunaan kendaraan listrik yang tepat sasaran dan mewujudkan manfaat sosio-ekonomi secara luas dari penggunaan kendaraan listrik, lanjutnya, dibutuhkan dukungan dari berbagai stakeholder untuk mengatasi berbagai hambatan dalam konsumen mengadopsi kendaraan listrik, menangkap peluang pertumbuhan industri, dan perlindungan dari risiko.
“Untuk itu diperlukan sinergi antar pemangku kepentingan di industri kendaraan listrik, mulai dari pemerintah, pabrikan, pengguna kendaraan listrik, dan asosiasi sebagai wadah bertukar pikiran dan evaluasi perkembangan industri,” kata Nicke.
Wajib Kendaraan Listrik
Sedangkan pemerintah mengambil langkah cepat dan tegas terkait transisi energi menggunakan kendaraan listrik. Pasalnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan pada 2023 kementerian/lembaga dan pemerintah daerah harus sudah menyiapkan anggaran pengadaan kendaraan listrik untuk kendaraan dinas.
“Tahun depan semua procurement untuk semua kendaraan itu harus masuk di kendaraan listrik, no more combustion car,” tegas Luhut.
Menurut Luhut penggunaan kendaraan listrik berbasis baterai sudah dilakukan saat ini. Namun karena tahun anggaran akan segera berakhir, ia mengatakan, penerapannya akan secara penuh dilakukan pada tahun depan. “Mulai dari sekarang sudah, tapi masih kecil kan. (2022) tinggal dua bulan, tapi tahun depan langsung diterapkan,” tegasnya.
Sebelumnya, pemerintah mendorong percepatan penggunaan kendaraan listrik melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor listrik berbasis Baterai sebagai Kendaraan Dinas Operasional dan/atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Lebih lanjut, Luhut juga punya ambisi membuat Indonesia menjadi produsen baterai untuk kendaraan listrik pada 2028. Pada kuartal II-2024, produksi baterai lithium itu direncanakan akan dimulai.
“Sekarang untuk lithium battery kita berharap bisa produksi nanti pada kuartal II-2024. Kalau semua berjalan sesuai rencana, kita bisa jadi negara penghasil baterai kedua di dunia di 2028. Ini angka yang bagus,” kata Luhut.
Adapun untuk wilayah yang akan menjadi fokus pengembangan industri baterai adalah Kalimantan Utara. Luhut menjelaskan provinsi ke-34 itu akan menjadi kawasan industri hijau yang bisa memproduksi baterai untuk kebutuhan tiga juta mobil.
“Di Kalimantan Utara itu di kawasan industri kita akan bangun untuk bisa produksi baterai tiga juta kendaraan. Semua ini berjalan,” tukasnya.
Mulai 2023, masih kata Luhut, pemerintah telah meminta Hyundai, produsen kendaraan listrik, untuk semakin masif memproduksi dan menyiapkan kendaraan-kendaraan listrik demi kebutuhan Indonesia. “Kami juga dorong Hyundai yang akan memproduksi 12 ribu mobil di sini tahun depan, jauh lebih besar dari yang kita butuhkan,” pungkasnya.